Fenomena Nikah Muda Dalam Aspek Hukum dan Aspek Kesehatan

- Jurnalis

Selasa, 22 November 2022 - 06:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis: dr. Amy Shientiarizki, Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya.

Opini – Mahasiswi Magister Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya, dr. Amy Shientiarizki membuat opini dengan judul “Fenomena Nikah Muda Dalam Aspek Hukum dan Aspek Kesehatan”.

Melihat kondisi sekarang, para remaja saat ini mayoritas belum terbiasa dengan penyelesaian berbagai tanggung jawab, maka nikah dini tidak bisa diajukan menjadi solusi atas permasalahan pacaran, ancaman free sex, dan lain sebagainya.

Tindakan nikah dini untuk menghindari perbuatan zina agaknya lebih menjurus kepada upaya pelarian. Lebih bijaksana untuk kembali memikirkan upaya lain selain nikah dini sebagai alternatif keluar dari perzinaan.

Dikatakan pernikahan dini apabila kedua mempelai berada di bawah usia standar pernikahan seperti ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga belum memiliki kematangan emosi dan cara berpikir.

Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan Undang-Undang Perkawinan), dalam pasal 1 menentukan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan Undang-Undang Perkawinan Perubahan), menentukan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam peraturan kitab Undang-undang KUHPerdata menegaskan pada pasal (7) bahwa umur pernikahan seseorang yaitu laki-laki 19 tahun dan umur perempuan 16 tahun.

Namun, nikah muda yang dimaksud dalam Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah pernikahan yang dilakukan pada usia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki karena diumur itu tingkat kestabilan dalam mengontrol emosi sudah matang untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan menghindari dampak kesehatan bagi ibu dan anak.

Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam undang-undang, akan tetapi pada kenyataanya pernikahan dibawah umur (pernikahan dini) masih sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang ada di Lombok dikarenakan mayoritas masyarakat Lombok tidak terlalu peduli dengan aturan tentang pernikahan karena yang menjadi kepercayaannya yaitu baligh dalam tafsir hukum islam yang dimana ketika perempuan baligh ditandai dengan sudahnya menstruasi maka dibolehkan menikah oleh orangtuanya supaya tidak menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis akan menentukan faktor dan dampak yang terjadi ketika usia anak pernikahan terjadi dibawah umur karena dalam segi usia yang belum matang dalam manage emosi, belum matang dalam berfikir dan belum matang dalam pembuahan bagi wanita yang menyebabkan banyaknya bayi lahir stunting, hal mana sejalan dengan Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 30 Tahun 2018 Tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak.

Baca Juga :  QUO VADIS ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA

Untuk menekan lajunya pernikahan usia dini dikarenakan banyak dampak merugikan terutama dalam segi kesehatan ibu dan anak.

Faktor Hukum Agama Islam,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pernikahan dini. Menurut MUI, dalam literatur fikih islam tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan. Baik itu batasan minimal maupun maksimal. 

Allah SWT berfirman, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan yang perempuan.” (QS an-Nur [24] :32). Menurut sebagian ulama, yang dimaksud layak adalah kemampuan biologis.

Artinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan.
Meski demikian, hikmah disyariatkannya pernikahan adalah menciptakan keluarga yang sakinah serta dalam rangka memperoleh keturunan. Menjaga keturunan (hifz al-nasl) adalah salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam.

Maka kemampuan menjaga keturunan tersebut juga dipengaruhi usia calon mempelai yang telah sempurna akalnya dan siap melakukan proses reproduksi.
Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ wa al-wujub). Islam tidak menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan hukum Islam. 

Faktor Adat, maksud adat dan budaya adalah adat dan perjodohan yang masih umum dan terjadi di beberapa daerah di indonesia. Biasanya alasannya adalah untuk segera merealisasi ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat laki-laki dengan kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka inginkan bersama.

Alasan inilah yang kadang-kadang menyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah dijadikan untuk kelak dikawinkan dengan anak sesuatu keluarga, hanya karena terdorong oleh keinginan adanya ikatan keluarga dengan keluarga itu saja. Dorongan tersebut karena ikatan tersebut akan membawa keuntungan-keutungan kedua belah pihak.

Tradisi ini adalah tradisi asli suku sasak yang telah mereka lakukan sejak zaman dulu, bahkan di khususkan untuk daerah lombok jika ada anak gadis tidak pulang dalam waktu 1 kali 24 jam yang berarti terindikasi kawin lari, dan hal itu memang di legalkan di Lombok.

Proses Perkawinan secara tidak resmi, pelaksanaan perkawinan dibawah umur secara tidak resmi atau tidak tercatat atau biasa dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan perkawinan dibawah tangan, halmana dilakukan dengan cara Pihak orang tua calon mempelai mendatangi tokoh agama yang berada diwilayah mereka guna untuk mengawinkan atau meng-ijabkabulkan anaknya dan disaksikan oleh keluarga dan masyarakat sekitar.

Baca Juga :  Belajar Daring Ditengah Pandemi Covid-19

Orang tua mendatangi tokoh agama dengan membawa kedua calon mempelai untuk dinikahkan secara langsung di rumah tokoh agama tersebut.

Tokoh agama yang memiliki inisiatif menikahkan kedua calon mempelai karena berbagai pertimbangan, diantaranya pertimbangan menghindari fitnah pergaulan atara lawan jenis, calon mempelai wanita telah hamil, dan kedua calon mempelai memiliki keinginan kuat untuk menikah karena orang tuanya tidak menyetujuinya.

Saat ini pemerintah telah berupaya melakukan penekanan dalam mencegah pernikahan usia dini karena menjadi atensi pemerintahan, sebab maraknya terjadi pernikahan usia dini membuat kenaikan bayi stunting kian melonjak, disebabkan kurang siapnya pasangan suami dan isteri dibawah umur mengenai asupan gizi yang cukup semasa kehamilan, kematangan Psikologis dan Organ reproduksi, serta pengetahuan tentang pola asuh yang benar.

Ketika remaja menikah di usia 15-16 tahun maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya jika nutrisi ibu tidak mencukupi selama kehamilan maka bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat beresiko terkena Stunting.

Kehamilan usia remaja berisiko tinggi dalam mengalami komplikasi pada saat kehamilan meningkat, seperti terjadinya kompilkasi seperti Preeklamsia atau hambatan pertumbuhan pada bayi resikonya tinggi pada kehamilan dibawah umur.

Preeklamsia merupakan masalah saat ibu mengalami tekanan darah yang tinggi saat masa kehamilannya, dari sisi reproduksi yang lain jika remaja melakukan fungsi seksual secara dini mungkin pada saat itu organnya belum matang.

Jika serviksnya terpapar terlalu dini maka resiko untuk terjadi kanker serviks juga meningkat. Kanker serviks terjadi ketika terdapat sel-sel di leher rahim berkembang secara tidak normal dan tidak terkendali.

Tidak hanya masalah kesehatan, nikah muda juga dapat menimbulkan masalah ekonomi atau keuangan. Hal ini umumnya terjadi pada pria yang belum ada kesiapan secara mental dalam menanggung nafkah dan berperan sebagai suami dan ayah. 

Dampaknya, lingkaran kemiskinan baru dalam kehidupan bermasyarakat pun tercipta dan rawan terjadinya perceraian karena tidak stabilnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang membuat melonjaknya angka janda.

Kesimpulan yang diambil oleh penulis adalah masih terjadinya kesenjangan (Gap) aturan dalam pernikahan usia dini baik dalam Hukum Adatnya, Hukum Islam, Undang-undang perkawinan dan dalam aturan BKKBN hal mana yang masih lemah dalam penerapan di masyarakat karena orang tua kurang sadar hukum akan dampak yang terjadi setelah terjadinya pernikahan usia dini kaarena sangat rentan dalam kesehatan yang dialami oleh ibu dan anak.

Berita Terkait

Targetkan menang pemilu 2024, PKN gelar silahturahmi bersama tokoh NTB
QUO VADIS ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA
Belajar Daring Ditengah Pandemi Covid-19

Berita Terkait

Jumat, 9 Juni 2023 - 14:20 WIB

Targetkan menang pemilu 2024, PKN gelar silahturahmi bersama tokoh NTB

Selasa, 22 November 2022 - 06:54 WIB

Fenomena Nikah Muda Dalam Aspek Hukum dan Aspek Kesehatan

Rabu, 9 November 2022 - 13:44 WIB

QUO VADIS ASURANSI KESEHATAN DI INDONESIA

Rabu, 8 Desember 2021 - 12:27 WIB

Belajar Daring Ditengah Pandemi Covid-19

Berita Terbaru